Momen yang tidak ingin aku ulangi

Lagi-lagi tulisan ini bisa terwujud karena datang sebuah inspirasi. Inspirasi ini datang dari usaha “kepo” saya mengenai presenter Jejak Petualang, Medina Kamil. Melalui search engine, Google, tersebutlah mengenai musibah yang mereka alami ketika Ekspedisi di Papua. Kejadiannya pada tahun 2008, ketika itu saya masih di MA Mu’allimaat dengan kondisi berasrama membuatku tidak tahu kabar berita di dunia luar, salahsatunya musibah tersebut yang mungkin juga eksis di media pada masanya. Setelah saya buka dan baca pelan-pelan tulisan pengalaman dari seorang Produser Jejak Petualang yang ikut hilang, saya seakan-akan punya satu perasaan yang tiba-tiba muncul. Perasaan kengerian, yang juga pernah saya rasakan.

Momen kengerian yang saya rasakan ini terjadi pada tanggal 29 Agustus 2014. Ketika itu kami (baca: tim KKN PPM-UGM PPB-10) bertolak kembali ke kampung Yenbeser setelah sehari tamasya ke Piaynemo. Kami ber-26 anak tamasya menyewa tiga kapal milik penduduk kampung Yenbeser, terdiri dari 1 speedboat, 1 longboat besar dan 1 longboat sedang. Saya ikut kelompok speed boat dengan kapasitas 15 orang.
Here we go 
Kerennya sang speedboat
 Menepi, menuju bukit

Singkat cerita.
Sekitar pukul 14.00 WIT kalau tidak salah ingat, kami sudah diminta turun bukit Piaynemo dan segera pulang oleh papa Arnolis. Mereka menyarankan agar kita pulang ke kampung sebelum matahari terbenam. Namun, kita bengal semua, hampir 15-20 menit molor untuk menunggu teman-teman yang tidak kunjung turun dari atas bukit. Hal yang perlu diperhatikan ketika kita membawa penduduk aseli dalam perjalanan laut: Ikuti apa katanya, ketika kita harus pulang maka langsung pulang, ketika kita diminta berangkat maka harus berangkat. Mereka mempunyai insting dan pengalaman yang jauh lebih banyak dari kita dengan medan lautan lepas. Kesalahan pertama kami adalah tidak mengindahkan apa kata Papa Arnolis.

Begitu keluar dari wilayah Piaynemo, kami mengarungi lautan lepas dan disuguhi dengan gelombang ombak yang mulai tidak bersahabat. Masih ingat jelas dibenakku formasi kami di speedboat, Kak Andreas di depan memegang tali kapal dan menariknya ke atas selama perjalanan ketika speedboat memecah ombak, di kabin depan ada saya; Mbak Dini dan Manda, di tempat duduk belakang berhadap-hadapan ada Ajeng, Galuh, Yudha, Nurin, Endah, Putri, Ayu, Dian, sedangkan di belakang sendiri ada papa Arnolis dan papa Sekdes. Ternyata oh ternyata, mesin speedboat kami ngadat ditengah perjalanan. Mesin yang kami bawa total berkekuatan 80 pk. Ketika berangkat, kami pasti datang paling cepat dan paling menyenangkan saat posisi memecah ombak. Namun ketika perjalanan pulang, speedboat kami hanya berkekuatan 40 pk. Alhasil, papa-papa di belakang mengarahkan speedboat mengikuti alunan ombak ± 1 meter bergelombang riang di permukaan laut. Sekitar 1 jam lamanya kami berayun-ayun di laut, masuk dalam lembah ombak naik ke bukit ombak, begitu terus. Percikan ombak mengguyur kami terus-menerus dari sebelah kanan speedboat sembari memicingkan mata mengawasi keberadaan dua longboat yang jauh disana. Tangan kami semua mencengkeram kuat ke kedua sisi badan speedboat.

Kak Andreas berdiri sepanjang perjalanan 
(foto berhasil diambil ketika gelombang tenang)

Saya, Mbak Dini dan Manda sudah gemeretak antara gigi di rahang atas dan rahang bawah, ditambah pula dengan kantung kemih yang sudah penuh. Kami mencoba melupakan perasaan kedinginan kami dengan bercerita. Kami bercerita mengenai film-film. Saya pun bercerita mengenai film survivor yang terjepit di tebing padang pasir Afrika  dan penyelam goa bawah tanah yang berakibat fatal menyebabkan kematian karena badai yang tiba-tiba datang. Konklusi yang saya ceritakan adalah bahwa ketika berada di kondisi darurat dan mencekam kita harus tidak boleh panik. Panik membuat segala jalan pikir menjadi buntu.

Habis sudah bahan cerita kami, dan pada akhirnya sekitar pukul 17.45 WIT kami diperlihatkan keindahan langit yang luar biasa sebelum matahari tenggelam. Sangat sangat bagus memandangi teriknya matahari di ufuk barat diatas speedboat dan perairan sangat tenang. Memudahkan kami mengambil beberapa gambar kenangan. Kami bernyanyi bersama-sama. Ah jadi teringat, betapa bahagianya saat itu. 
 Yak berfoto sejenak
(recommended: pakai kacamata renang mengurangi perih mata akibat kena air laut)
 All of them singing and screaam
 Awesome sunset

Ketika itu kami mengira teman-teman kami yang menggunakan longboat lain bernasib sama dengan kami. Namun ternyata dua longboat  lain sudah sampai di Yenbeser pukul 17.30 WIT. Alhamdulillah.

Long boat  sampai ke kampung sebelum matahari terbenam

Sampai akhirnya papa Arnolis memutuskan singgah ke kampung Sawingrai untuk mencoba memperbaiki mesin 40 pk yang macet dan juga meminjam beberapa senter untuk penerangan kami selama perjalanan pulang ke Yenbeser. Jarak Sawingrai dan Yenbeser sekitar 30 menit perjalanan. One step closer menuju kampung! Yas!
Kampung Sawingrai

Sesedikit waktu sempatkan berfoto dimana kamu berada
Foto adalah bukti!

Sekitar 30  menit lamanya kami singgah. Menariknya kami pipis berjama’aah begitu speedboat sampai di pesisir pantai. Seru, asyik, nggilani diteruskan dengan berenang-renang sebentar. Setelah membersihkan diri dan mengambil beberapa gambar di kampung Sawingrai ini. Papa Arnolis memutuskan pulang dengan bergantung 1 mesin. Mesin 40 pk yang macet ternyata tidak bisa diperbaiki saat itu juga. Bermodal Bismillah kami melanjutkan perjalanan. Gelap dan sunyi. Hanya terdengar deru suara mesin. Kami sadar semuanya mulai kelelahan. Hilang sudah canda tawa. Bahkan kami hampir menabrak kapal kayu orang yang sedang memancing karena saking gelapnya.

Laut masih tenang, plankton-plankton membuat cahaya disepanjang badan speedboat yang bergerak. Kehijauan bercahaya. Sampai akhirnya laut agak kurang bersahabat, gelombang mulai tidak tenang, angin malam yang dingin berhembus kuat. Menit per menit berjalan, sampai akhirnya Mbak Dian mencoba duduk di kabin depan bersama saya, Mbak Dini dan Manda mencoba memecah kesunyian dengan mengobrol bersama kak Andreas.

Beberapa menit kemudian kami excited melewati Pulau Roti Kembar (bentuknya kotak seperti roti tawar). “Wow, keren ya, coba pas lewat sini sore, kan bisa foto”, celetuk beberapa teman. Tapi tanpa disadari, terdapat pertemuan dua arus di ujung Pulau Roti menuju kampung kami. Kejadian begitu cepat, sangat cepat. Secara tiba-tiba longboat kami meninggi 90 derajat, sangat hampir terbalik. Mbak Dini yang lengah terperosok hampir nyemplung ke laut. Manda dengan cepat menarik kerudung pashmina Mbak Dini. Kabin belakang kiri sama kagetnya, beberapa tidur hampir terjungkal ke belakang. Seketika suasana mendadak mencekam. Kami panik semua. Reflek ada yang menangis, dzikir, dan menyebut nama besar Allah. Mbak Dini, Manda dan saya berpelukan, berpegangan satu sama lain. Kami semua gemetar. Konklusi cerita film tadi tidak bisa kita terapkan.

“Eh, ada bintang jatuh!!! liat deh ke atas,” Ajeng berteriak tiba-tiba.

“Ya ampun, kondisi kayak gini sempet-sempetnya teriak liat bintang??????,” mbak Dini menimpali.

Kami semua terdiam. Saya menatap langit, “iya, indah banget” gumamku. Saya terus berdo’a agar bisa diberi keselamatan dan kesempatan untuk kembali ke Jogja.

Jika itu speedboat benar-benar terbalik bisa dipastikan kami semua tidak ada yang selamat, karena hanya tersedia 1 buah pelampung, sedangkan kami berjumlah 15 orang. Oleh karena itu, sangat penting mengutamakan safety property ketika di medan laut, minimal setiap orang mendapat baju pelampung dan kacamata renang.

Ombak sangat besar di bagian kanan speedboat. Menerjang badan speedboat dengan kerasnya. Mesin 40 pk mati. Kami terombang-ambing sekitar 3 menit (tapi terasa lama) di ombak besar itu. Sampai akhirnya mesin bisa dinyalakan kembali. Menyusuri sekitar 10 menit lamanya sampai sudah di kampung kami. Kami bisa melihat teman-teman dan beberapa warga Yenbeser menunggui kami di tepi pantai. Speechless, semua warga kampung sudah khawatir karena sampai pukul 21.00 WIT kami belum juga sampai pondokan.

Kami turun satu per satu dari speedboat dalam diam. Beberapa tangisan teman mulai pecah dan kaki gemetar untuk sampai ke pondokan. Kami harus waras, kami sudah selamat dan menyegerakan sujud syukur. Air putih menjadi hal pertama yang kucari, terasa biasa tapi ternyata ketakutan yang berusaha kutimbun membuncah juga. Entah kenapa botol minum itu ketika kuminum menjadi bergerak tidak tahu arah. Saya sadar, ketakutan ini masih mendekam di diri ini.   

Pondokan kami tutup, Yudha satu-satunya laki-laki yang ikut di speedboat bercerita panjang lebar ke teman-teman lelaki lain. Dua belas perempuan di dalam pondokan masih kosong, diam dan gemetaran. Sampai akhirnya ada yang nyeletuk, “Eh, gila si Galuh iteng tenan, suer ora ndobos,” kata Ajeng. Tawa kamipun pecah dan mulai mentertawakan wajah satu sama lain.

Ya. Itu pelajaran berharga untuk kami. Di titik itu, saya dan teman-teman seperti merasakan diberi second chance of life. Bahagianya, kami masih diberi kesempatan bertemu kembali dengan keluarga di Yogyakarta minggu depannya.
Itu ceritaku.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Raja Ampat, Papua Barat

HERE WE GO, KOREA!

HERE WE GO, DAEJEON!