kekuatan untuk tidak pernah menyesal dan selalu bersyukur


Ehm. Hay. Sudah lama tidak berjumpa sejak Oktober tahun lalu.
Saya ingin menceritakan apa yang sudah kulakukan dan kupelajari selama menjadi pengangguran. Memang saya sudah lulus sebagai sarjana dan belum mendapatkan pekerjaan yang sesuai untuk saya, jadi sangat masuk ke dalam kategori pengangguran. Pengangguran yang selalu cari cari acara.

Stress
Ketika berada di dalam kategori ini stress bisa melanda. Stress ini bisa terjadi karena perubahan hidup yang terjadi yang awalnya sibuk berbagai kegiatan rutin menjadi tidak ada kegiatan bila tidak membuat iterinary sendiri, atau karena bosan. Saya pun mengalami fase itu, setiap orang punya ciri-ciri stress yang berbeda, kalau saya berdampak pada kondisi fisiologis tubuh, biasanya pada diri saya terdapat tanda-tanda seperti sariawan dengan jumlah banyak atau diare yang datang tak terduga-duga. Fase stress ini terjadi pada bulan ke 3 dan 4 menganggur. Pada bulan 1 dan 2 hanya terjadi gejolak-gejolak kecil seperti whining dalam hati, mondar-mandir di rumah enggak jelas, mencari-cari barang yang enggak penting-penting amat, atau jalan-jalan tanpa arah tujuan. Stress ini juga bisa diperparah karena diri kita melakukan whining secara terus-menerus di dalam hati yang tak terungkapkan dalam bentuk verbal. Whining tidak ada manfaatnya. Boleh dilakukan tapi segera membuatnya let it go. Itu solusinya.

Dilema
Enggak cuma itu, dilematis berada di persimpangan jalan pilihan antara bekerja atau melanjutkan sekolah magister juga pasti dilewati. Kita harus benar-benar memastikan pilihan yang nantinya dibuat adalah hasil dari refleksi diri. Mana yang lebih baik kita lakukan untuk pengembangan diri dan karier. Bukan tergantung dari jawaban mayoritas teman-teman. Saya pun juga merasakan hal itu. Dilema ini terjadi pada saya karena saya ingin bekerja dan saya ingin sekolah lagi. Tapi, dua pilihan tidak akan bisa jalan maksimal bila dilakukan secara bersama-sama. Saya harus memilih, mana yang harus didahulukan. Mengapa saya ingin bekerja? Jawaban saya adalah saya ingin mengetes tingkat keprofesionalitas, kapabilitas, mentalitas, tanggungjawab, etika bekerja dari seorang diri saya. Mengapa perlu di-tes? Jawaban saya adalah saya harus memastikan bahwa saya sudah siap untuk mandiri. Lalu, mengapa saya ingin sekolah magister? Saya haus ilmu, saya harus terus menerus memasukkan ilmu baru di dalam wawasan saya. Mengapa harus sekolah magister, tidak otodidak saja mencari ilmu lainnya? Jawaban saya adalah karena saya bisa membagikan ilmu pengetahuan itu kepada siapapun dengan cara bercerita, menulis atau diskusi, dan bisa dipertanggungjawabkan melalui gelar kesarjanaan dengan jenjang lebih tinggi. Saya fikir, mengisi waktu paling baik adalah belajar. Terlepas dari itu juga, kita bisa memperluas pergaulan untuk  saling sharing mengembangkan wawasan kita. Jika ditanya apakah saya akan berada di jalur koridor biologi, maka jawaban saya adalah saya sedang mencari jawabannya.

Berani Memilih
Setelah seremonial wisuda, saya pun memilih untuk bekerja terlebih dahulu. Namun, apa yang saya ikrarkan tidak satu pendapat dengan lingkungan saya. Teman-teman menyangsikan pilihan saya, orang tua & keluarga dekat mendukung sekolah lagi, dan hanya seorang yang mendukung penuh saya untuk bekerja, yaitu Mbak saya. Pilihan untuk bekerja ini seakan diamini oleh Yang Diatas dengan terpilihnya saya menjadi tenaga kontrak di suatu proyek penelitian selama dua bulan. Saya pun menggali kembali niat awal dari pilihan untuk bekerja. Pekerjaan itu sesuai dengan bidang saya, dan saya suka membaca deskripsi pekerjaannya, bahkan sampai membayangkan apa yang akan saya lakukan nantinya, meski belum terdaftar legal sebagai tenaga kontrak. Saya tidak mempedulikan berapa gaji yang akan diperoleh, yang penting saya akan mendapat jawaban dari dari niat saya, and i was so exicited to be a part of that project!

Harapan
Setelah bekerja menjadi tenaga kontrak field biologist, ternyata saya tidak cukup puas. Nah dimulailah sudah masa job seeker-ku. Saya menjadi bergairah dengan mengembangkan pemikiran saya mengenai latar balakang sebagai sarjana biologi. Sangat menarik. Ketika itu saya sangat semangat, bergairah dan merasakan banyak jalan menuju keinginan saya untuk bekerja tercapai.

Upaya
Saya mencoba bergabung dalam sebuah kegiatan volunteering konservasi alam. Ketika fase ini, kenyataan diterima kegiatan volunteering menjadi angin segar. Namun, kesempatan yang datang tidak semua harus diterima, kita bisa mempertimbangkannya dan bisa menolaknya. Tentunya perlu diskusi dengan orang tua juga ya, tidak hanya dari pandangan kita sendiri. Saya menolaknya, karena saya sudah tidak cukup kuat untuk melihat Ibuk saya menahan perasaan khawatir ketika saya berada di lingkungan alam, especially untuk di hutan saja. Tak terucapkan namun batin kita connecting, tak perlu diverbalkan tapi aku bisa tahu apa yang Ibuk rasakan dari guratan wajahnya. Meski menolak, saya justru merasa lega. Loh? Kok aneh hahahahaha. Saya lebih mantap ketika Ibuk saya ridho se-ridho-ridhonya. Yeah, i think its the best decision. Honestly, saya memberi banyak thumb untuk para women conservationist yang bisa meyakinkan keluarganya untuk berkarier dan hidup di dalam kesukaannya di alam bebas. Sudah tentu pasti mereka memiliki latar belakang pendidikan yang baik  dan skill adaptasi dengan hukum alam di lapangan. Semoga saya bisa diberi jalan lain untuk bisa kontribusi dalam bidang ini meski tidak secara langsung di lapangan.

Kemudian saya apply pekerjaan di perusahaan via jobstreet, tapi sejauh ini belum ada langkah kemajuan.

Oke. Never give up. Saya mencari pekerjaan dengan cara lain. Akhirnya saya berangkat ke Bandung untuk ikut jobfair, informasi dari teman mengatakan bahwa banyak perusahaan sains bonafid yang menggelar pameran di ITB. Berangkatlah saya menjemput rejeki ke Bandung pada bulan ke 3 menganggur. Sulit guys rasanya, karena saya memang sudah terlanjur terlena dengan ke-selo-an di rumah terus menerus. Apalagi teman saya yang mengajak ke Bandung ternyata sudah diterima sebuah perusahaan, tinggal konfirmasi. Ketika itu rasanya berat sekali untuk berangkat ke Bandung, Saya whining lagi dalam hati. Saya mencoba menghempaskan perasaan itu, dengan modal doa & uang jajan dari orangtua, pikiran positif, berani dan mau merubah hidup, saya berangkat. Seminggu di Bandung, teman saya mendapat dua kali panggilan tes. Saya tidak. Saya whining lagi dalam hati. Lalu, saya hempaskan lagi. Saya berpikiran positif lagi dan mencoba untuk bersabar dan bersyukur.

Kesempatan
Namun, Allah lagi-lagi menunjukkan hal lain. Kita harus percaya bahwa rejeki tak akan tertukar. Sepulang ke Jogja saya diberi kabar oleh perusahaan FMCG besar di Indonesia untuk mengikuti tes Aptitude secara online. Namun, ini bukan rejeki saya, selain itu saya belum fasih mengenal strategi tes Aptitude. Sehingga saya belum bisa melanjutkan ke tahap selanjutnya. Sebulan kemudian saya mendapat kesempatan untuk mengikuti seleksi dari perusahaan besar farmasi di Indonesia yang ternyata teman saya tidak mendapat kesempatan yang sama. Namun, ini bukan rejeki saya, ternyata kapasitas diri saya tidak sesuai dengan standar psikotes dari perusahaan tersebut. Sehingga saya belum bisa melanjutkan ke tahap selanjutnya.
Ditolak itu selalu menyedihkan, isn’t it? Tapi kita perlu mengapresiasi dari segala proses-proses yang kita jalani, segala usaha sebelumnya dilakukan. Ternyata kita bisa menjalani itu semua. Tentunya kita bisa instropeksi diri untuk pengembangan diri. Itu bonus plus-plus.

Upayakan lagi
Jangan pernah sedikitpun mau untuk menyerah. Jangan pernah sedikitpun menghakimi diri sendiri bahwa kita gagal dan gagal karena diri kita yang tidak kompeten. Hanya saja, tempat yang suitable dengan kita belum terlihat. Kelihatannya saya belum benar memilih jenis pekerjaan. Saya mencoba untuk apply kembali. Namun, saya mencoba jalan lain. Saya apply ke beberapa NGO. Ya, sejauh ini ada 5 NGO, dan ternyata belum mendapat kabar baik lagi. Kemungkinan besar, modal pengalaman yang saya punya untuk bekerja di ranah ini belum cukup. Bersyukurlah bagi yang sudah memiliki modal pengalaman untuk tidak menyia-nyiakannya. Saya sangat mengapresiasi seseorang yang berani terjun ke masyarakat, melakukan usaha nyata di lapangan, mendapatkan langsung kepuasan batin yang membuat kita semakin kaya dan tentunya berbahagia. Apa yang lebih membahagiakan selain batin yang kaya? Uang pun tidak dapat membelinya dan hanya segelelintir orang yang memilikinya. How prestigious they are.

Persiapkan diri lebih baik lagi
Do’a rutin, terus bermimpi, usaha sungguh-gungguh, mental baja, pikiran positif, saling berbagi pengalaman inilah yang sedang saya lakukan. Whenever.




Komentar

Postingan populer dari blog ini

Raja Ampat, Papua Barat

HERE WE GO, KOREA!

HERE WE GO, DAEJEON!