Keanekaragaman

Saya jadi tergelitik buat nulis uneg-uneg ini. Ini sedikit pandangan dariku sih, dan semoga pandanganku lebih diperluas untuk menghadapi hal- hal seperti ini lebih bijak.
Oya karena biasanya nulisnya tentang keanekaragaman hayati x di x sekarang bahas keanekaragaman sosial di dunia. Salah dikit aja, belum banyak pengalaman hal beginian.
Suatu hari saya share sebuah info mengenai internship sebagai guru dengan penempatan di Papua Barat ke grup teman-teman MTs dan MA saya. Pada saat saya membaca kesempatan belajar itu yang sangat jarang munculnya, saya langsung bagi info ke teman MTs-MA yang mayoritas background pendidikan. Sedikit yang merespon. Sudah biasa. Yasudah, yang penting udah share, kata dalam hati. Lalu muncullah respon dari salah seorang teman ini,
“Punyamu ndur?”
Saya enggak ngerti banget sih maksud dari pertanyaan ini hahahaha, saya sangat terlalu biasa buat jadi objek dari pertanyaan yang diajukan itu. Alhasil saya balas tanpa tahu maksud aslinya apa.
“Aku cuma share info aja.”
Nah mungkin dikarenakan kekhawatiranku yang sebenernya tidak perlu justru malah membuatku jadi agak geli buat nulis disini. Saya menambahkan kalimat seperti ini.
“Btw, informasi tambahan di sana udah banyak muslimnya kok.”
Maksud dari kalimatku ini ya sederhana, saya membantu memberi informasi tambahan kalaaaau-kalaaaau nih misal ada temen yang baca tapi berfikir dua kali karena itu di Papua Barat yang notabene mayoritas masih non-muslim. Biar makin mantep aja gitu lo nek arep apply.
Saya hanya ingin teman-teman ada yang bisa mencicipi pergi ke Papua Barat yang pernah kulakukan meski hanya dua bulan, tapi itu sungguh terkenang dalam hati. Ya sesimpel itu.
Tapi enggak semua pengen ke Papua Barat. Oke. Haha. Kayanya aku yang lebay, dan terlalu overexcited about Papua Barat.
Diresponlah oleh temenku,
“Pelakunya yang muslim, foundernya?”
Lagi-lagi saya enggak ngerti banget arti dari kalimat ini. Karena saya tahu ini fundingnya dari luar negeri dan yang punya orang luar negeri dan pasti non-muslim, respon saya pertama dalam hatiku adalah yaampun kok jadi rasis sih.
Mungkin kita berdua tidak tahu maksud masing-masing, jadi kujawab dengan santai,
“Ya mau gimana lagi fundingnya dari luar. Emot laugh.”
“Cukup tak sawang.” (cukup kulihat aja red: lowongan itu).
Selesai percakapannya.
Yang mau saya bahas adalah, memang kenapa kalau foundernya itu bukan non-muslim? Saya berpendapat bahwa selama visi dan misi yang dijalankan foundation itu baik dan tidak ada yang melanggar agama ya kenapa itu jadi alasan lain juga untuk berkontribusi di Papua Barat sana? Apalagi tanggungjawabnya hanya terbatas pada pendidikan untuk PAUD. Yaampun saya bacanya aja ini internship mulia bener kerjaannya.
Sangat penting di dunia ini kekuatan berkolaborasi. Kolaborasi positif tentunya ya, tapi ya susah juga sih karena pasti ada kepentingan pribadi. Jadi ya kalau ada kolaborasi yang baik dengan siapapun kenapa enggak bisa dilakukan karena alasan agama? Tidak ada larangan berteman dengan orang beragama lain. Tidak ada larangan menggunakan dana dari orang non-muslim untuk kegiatan hal-hal baik asal dikelola dengan baik. Kita harus banyak belajar betapa detailnya pertanggungjawaban penggunaan dana dari luar negeri tersebut biar enggak ada lagi yang namanya korupsi atau penyelewengan dana (masalah klasik negara kita). Integritas mereka terhadap suatu keahlian adalah hal yang patut atau (mungkin) kita harus bisa belajar dari sana. Niat kita saja yang harus diluruskan, sisanya diserahkan ke Allah.
Ya sebenernya kesempatan ini tidak hanya satu-satunya sih, banyak juga kesempatan dari pemerintah yang buka kesempatan jadi guru atau relawan medis di pelosok terpencil.
Tapi yang membedakan antara dari pemerintah dengan foundation ini adalah daya tampung yang diterima. Menurutku kalau yang diterima banyak dari pemerintah kita enggak perlu khawatir tentang diri kita selama disana, apalagi hidup minoritas dan temennya banyak dan juga itu pemerintah yang gawe (kalau orang tua jaman dulu kalau udah dibawah pemerintah ayem hatinya). Tapi kalau foundation ini yang diterima mungkin satu atau dua orang aja, dan muuungkiiin loh ya ada yang kepikir ini gimana ya hidup di kaum mayoritas non muslim dan di Papua gitu loch.
Papua itu di Indonesia, tapi rasanya jauh kayak ke luar negeri. Hal yang mendasar jadi bahan pertimbangan adalah Papua masih banyak kelompok bersenjata, Papua belum aman sepenuhnya (di pedalaman), agama, budaya, adat, living style, dan lainnya yang masih sangat jomplang dari Indonesia bagian barat. Rasa-rasanya kebanyakan orang tua, atau bahas pendapat pribadi orangtua saya aja baliau lebih legowo lepas anak ke luar negeri daripada ke Papua.  
Oke abaikan.
Sembari nulis itu semua saya jadi teringat juga percakapan saya dengan seorang teman via status facebook 8 tahun silam. Ketika itu saya masih kelas 2 MA di sekolah swasta boarding school. Saya sekolah disini selama 6 tahun. Iseng aja saya nulis hal yang kurasakan seperti dibawah ini. Saya agak lupa sih tepat kalimatnya tapi intinya adalah kalau saya sangat bahagia disini, di lingkungan tempat saya bersekolah karena saya merasakan kebaikan dan hal-hal positif selain itu ibadah enggak terbengkalai.
Diresponlah oleh seseorang, inti kalimatnya gini juga,
“Kamu itu terlena di kehidupan homogen, kamu belum ngerasain hidup di tempat heterogen, hidup itu enggak seindah itu, diluar sana itu baru bener-bener kehidupan tau.
Waktu itu saya kesel bacanya, saya enggak siap direspon seperti itu. Dulu saya pikir anak ini sotoy bener mentang-mentang sekolah di sini cuma 3 tahun doang terus lanjut SMA diluar.
Tapi itu malah jadi salah satu motivasi buat sekolah di Universitas Negeri kelak. Saya jadi penasaran kaya gimana sih emang yang dibilang temenku itu lingkungan heterogen? Dia yang benar atau akunya yang cupu?
Alhasil dan ndilalah Allah ya mernahke kesana. Saya dapat kesempatan sekolah di Universitas Negeri dengan  magic-Nya.
Dan ya aku bersyukur mencicipi indahnya keberagaman di dunia ini. Cihuy. Aku menantang diri untuk tetap menjadi diri saya dengan prinsip agama saya yang susah-susah ditanam oleh orangtuaku melalui pendidikan di rumah dan di sekolah. Benih-benih agama inilah yang bisa jadi pengingat integritas siapa diriku.
Susah cuy.
Apalagi anak boarding school 6 tahun yang maghrib harus masuk asrama, ga pernah keluar malem kecuali kalau boleh shalat di masjid/ les malam di kelas/ acara organisasi/ ijin keluar, sekalinya mentas dari asrama njuk kesenengen bisa jalan-jalan sesuka hati tanpa harus ijin.
Hal bengal yang kulakukan adalah nonton Jogja Art apa gitu di Malioboro dan itu semua lalin ditutup menuju dan dari Malioboro alhasil gabisa pulang dan banyaknya orang sinyal hp jadi jelek, sukses membuat orang rumah marah-marah nelfonin sana sini padahal jam masih menunjukkan jam 9. Pertama kalinya pulang jam 11 malam jelas membuat orang rumah kecewa sama diriku. Pandangan dari mereka adalah tidak lazimnya perempuan pulang malam-malam. Pandangan dariku itu adalah bentuk kebebasan karena itu hal baru dan kalau diterusin bisa bikin ketagihan. Untungnya keluargaku masih bisa me-rem diriku dari awal, jadi belum sampe keterusan gitu loch. Jadi saya itu nakalnya masih versi baik gitu loch. Haha. Abaikan.
Punya sobat beragama lain juga jadi pengalaman baru bagiku. Awalnya saya kikuk dalam memulai pertemanan dengannya. Lebaynya, saya bahkan sempet mikir makan-enggak-makan-enggak cemilan dari sobatku itu. Masyaallah. Seiring berjalan waktu banyak hal-hal yang membuatku dan sobatku ini klik dalam berteman, ya dari akademik, interest, sampe bahan guyonannya, kecuali life style ya, dia orang Jakarte jadi beda ama orang sederhana kaya saya. Dia sering mengingatkan hal baik, seperti menanyakan ibadah shalat lima waktuku, rambutku yang keluar saat berkerudung, dll. Hal lain yang saya belajar dari dia adalah khusyunya dia ketika sebelum memulai makan. Kalau saya dan teman-teman lain doa sebelum makan mungkin hanya beberapa detik sebelum makan dan langsung hap, kalau sobatku ini dia mendekap tangannya lalu memejamkan mata berdoa sekitar semenit baru makan. Ya, memang benar bahwa bagimu agamamu, bagiku agamaku. Sesimpel itu kita bisa menerima perbedaan.
Yaitu, dinamis baen jadi manusia. Asal udah ada akar agama yang kuat, kita bisa kok taklukin dunia. Ceileh.
Terbukti loh ya kekuatan dinamis itu dari organisasi tua di Indonesia langsung aja saya sebut aja yaitu Muhammadiyah yang terbukti bisa lebih dari 1 abad eksis di masyarakat karena tipe dakwahnya yang mengikuti tren zaman.
Sudah cukup dulu, besok dilanjutkan lagi bahas tentang Muhammadiyah versi pendapatku.

Bye.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Raja Ampat, Papua Barat

HERE WE GO, KOREA!

HERE WE GO, DAEJEON!