Bersyukur, lalu kun fayakun..
..................................................................................................................................................................
Sebuah percakapan:
Aku : “Pasti Ibuk pengen nge-pos foto Mbak yang lagi upgrade her career ke grup keluarga besar.”
Ibuk : “Enggak, terbersit untuk nge-pos pun
enggak.”
Aku : “Gaaaa mungkin pasti pengen, tapi takut sama Mbak.” (notabene beberapa keluarga lain suka nge-pos tentang anak-anaknya, orang tua mana yang enggak pingin bisa cerita tentang anaknya coba).
Ibuk : “Ora, cuma dengan enggak nge-pos bisa menghindari
dari hal-hal negatif yang muncul, itu yang Ibuk
lakukan.”
Aku : “Aaah mesti takut bukan menghindari hal-hal negatif yang muncul.”
Ibuk : “Beda yo ya takut sama menghindari dari
hal-hal negatif yang muncul.”
Aku : “Huuuff dulu ya giliran aku, Ibuk nge-pos pas aku di luar negeri ke grup keluarga besar. Kan aku kesel. Aku ikut konferensi itu menurut aku bukan sesuatu yang bisa aku banggakan.”
Ibuk : “Kamu kok ngomongnya gitu, itu adalah
akar dari ketidaksyukuran lho. Nanti sama Allah enggak dikasih lagi gimana. Dan
juga Ibuk dulu nge-pos kamu karena sama-sama keluarga kita yang lain ada yang
pergi di area Asia Tenggara, kan biar gayeng
kalau Bani Chirzin lagi pada ngider Asia
Tenggara.”
Aku : “Enggak buk, ini tu cuma konferensi kecil dari PPI. Bukan sesuatu yang waaoww”
Ibuk : “Nek kamu bilang bukan prestigius dulu
enggak tak ragati.”
Berfikir sejenak...
Aku : “Maaf buk, iya juga ya aku enggak syukur, dulu saya sih mikirnya ini tu buat belajar aja dan menunjukkan eksistensi diri biar berani. (Jadi, ada 1 dosen bilang ini itu konferensi yang menurut beliau bukan bisa dibanggakan, sehingga saya mulai juga menganggap bahwa konferensi ini itu tidak prestigius). Niat saya tetap berangkat adalah menyelesaikan apa yang sudah berani saya mulai dan juga didukung oleh dosen lain yang lebih supportif bahkan sampai bantu memberikan info adanya travel grant untuk konferensi-konferensi tertentu.”
Ibuk : “Nah kui, niatnya itu, buat belajar, upgrade diri, apa yang tidak bisa dibanggakan dari itu.”
..................................................................................................................................................................
Malu aku, pada diri sendiri.
Sejak mulai mempercayai untuk try itu eventhough you are not perfect, saya masih tertampar dengan standar yang mungkin di bawah alam sadarku kubuat oleh diriku berdasarkan standar di lingkungan hidupku untuk penilaian terhadap diri sendiri. Standar penilaian manusia. Standar kesukesan manusia kebanyakan. And it sucks. Aku sedikit terlambat menyadarinya, lulus kuliah baru “ngeh”, ya lebih baik lah daripada sampai tua enggak sadar.
Malu aku, sama Allah SWT. Standar ga bermutu apa yang aku tanamkan dalam diriku.
Padahal di masa sebelum keberangkatan ke luar negeri itu, Allah kasih cobaan, tapi langsung, ketika sudah membuatkan tekad untuk terus maju berangkat, kontan kasih solusi. Seperti ini contohnya, saya dan teman punya hewan model coba penelitian yang setiap hari kita pelihara dan jumlahnya cukup banyak. Kalau ditinggal pergi 5 hari, siapa yang kasih makan? masa dosen pembimbing? Kan enggak mungkin. Ndillalah, tiba-tiba Allah kasih solusi, Allah pertemukan kita berdua sama kakak tingkat yang juga bergabung dalam penelitian kita, dan dengan legowo dia mau membantu kita memelihara hewan coba kita. Masyaallah, kurang apa coba kuasa Allah itu? itu yang selalu teringat oleh memoriku. Salah satu wujud Kun Fayakun.
Cerita lain,
Kalian bisa baca disini tentang dompetku yang jatuh se paspor-paspornya dan seduit-duitnya. Di satu titik ketika badan sueper cuapek ditambah dengan dompet hilang, aku ingat di tengah malam itu pas cari dompet sekitaran sungai (curiganya jatuh) aku berdoa memandang langit ke atas dan bergumam, “Ya Allah, aku percaya kalau Engkau tidak akan memberikan cobaan bagi hambanya diluar kemampuannya.” Karena aku sungguh-sungguh tidak tahu harus menggantungkan diri ke siapa (karena posisi jauh dari orang tua, keluarga dan tanah air).
Satu-satunya orang yang kuhubungi adalah kakakku, dan aku sama sekali tidak berani dan sungkan menelefon orang tuaku, khawatir membuat mereka cemas. Usut punya usut ternyata Ibuku sudah diberitahu kakakku saat kejadian itu, namun juga tidak menyinggung sedikitpun sampai aku sendiri cerita kepada beliau dua tahun kemudian. Lagi-lagi ketemunya dompetku juga salah satunya efek dari sedekah Ibuku, beliau cerita langsung sedekah sekian juta untuk mempermudah urusanku. Huks. Mewek aku.
Dan keesokan harinya kontan Allah kasih balik dompetku sepaspor-paspornya, seduit-duitnya setelah berusaha cari bantuan kesana kemari dengan teman-temanku. Allahuakbar.
Sebenernya tugasku tu gampang, cuma
niat, membuat keputusan, usaha dan doa sama Allah aja. Sisanya Allah yang urus.
Cari kerja
Memasuki fase pencarian kerja yang cukup lama, membuatku lupa bersyukur.. lupa bahwa bersyukur itu harus ditabung sedikit demi sedikit.. lupa kalau bersyukur itu enggak cuma ketika hal yang diinginkan dikabulkan.. lupa kalau harus selalu bersyukur dalam keadaan susah dan senang..
Alhasil aku mulai meragukan segala hal didepanku..
Mulai menyalahkan diri sendiri..
Mulai meragukan kenapa aku harus sholat lima waktu lebih awal kalau apa yang kudapat itu gini-gini aja, apa yang kumau tak kunjung datang?
Bisa dibilang aku tu kehilangan panduan hidup..
Singkat cerita, ada bonding yang aku rasakan, aku sadari betapa Allah itu benar-benar menyayangi makhluk hidupnya secara individual. Pasti masing-masing orang punya cerita sendiri-sendiri tentang bondingnya dengan Allah, berbeda itu pasti dan tidak bisa disamakan. Itulah yang mengubah hidupku.. menjadi lebih baik.. dan semoga suatu saat menjadi lebih baik.. terus membaik bersama orang yang Allah takdirkan untukku untuk terus memperbaiki diri menjadi lebih baik.. beribadah lebih baik.. karena ridha Allah dan Surga Firdaus Allah itu menjadi cita-cita..
Ketika sudah selesai dengan diri sendiri. Mencari pekerjaan kesana-kemari, tanpa disangka rezeki lewat teman datang sendiri, berawal dari keisenganku hanya bilang, “Des, kalau ada lowongan kabari aku ya.” tanpa berharap lebih, tiba-tiba itu menjadi tempatku bernaung sekarang. Ya, memang itu adalah salah satu doa yang kupanjatkan, bekerja di laboratorium, proyek penelitian yang menjanjikan, dan lokasi di Jogja agar aku bisa sambi menemani dan membantu merawat Bapak Ibukku (notabene saat itu kakakku masih muter-muter Jakarta-NTT). How lucky i am.
Ditambah juga dalam waktu 3 bulan bekerja aku bisa menjadi bagian tangan panjang rezeki Allah membantu temanku bisa bekerja di situ juga (meskipun dia hanya bertahan setahun aja sih). Suenenge tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata, rasanya hati itu melebar dan bahagianya ga karuan. Aku bermanfaat disini, dan semoga rezekiku berkah halal thoyib disini.
Selang berapa bulan pun begitu, teman yang merekomendasikan diriku pernah kuselipkan doa untuknya agar dia lolos beasiswa, dan voila dia sekolah di Thailand sekarang. Penggantinya akupun bisa rekomendasikan teman yang lain yang dulu pernah kerja bareng pas kuliah, dan lagi-lagi bisa jadi tangan panjang Allah membantu temanku agar bisa makaryo disini, alhamdulillah diapun betah disini. Ditambah lagi, saat awal bekerja aku iseng les bahasa prancis, ndilalah bisa nyambung sama 1 orang dan umurnya sama, ndilalah lagi ternyata dia temen kerja dari temen kerja dulu, ndilalah lagi dia temen dekat temen kerjaku sekarang, ndilalah lagi, akhirnya temen lesku itu menjadi temen kerjaku sekarang. omg.
Memang segalanya ada waktunya sendiri-sendiri dan pastinya hikmah itu baru kita dapat kalau sudah menjalaninya. Hikmah dari nganggurku 1 tahun? Buuuaaanyaaak, dan semuanya berharga menjadikan diriku yang sekarang ini, menjadi orang yang lebih baik.
Abaikan kata-kata orang yang sekolah karirnya mulus dan berkata menjurus bahwa ±1 tahun menganggur itu tidak ada gunanya, bahwa kamu bisa mendapatkan itu karena ada yang salah dengan diri kamu dan itu akibatnya. Jangan biarkan mereka menyudutkan dirimu membuatku merasa bahwa dirimu tidak berguna karena masih menganggur. Mereka yang prestatif pasti ada hardship moments yang juga enggak bisa disamakan dengan menganggur, karena itu juga super hardship moments. So, don’t judge each other, kamu harus lebih percaya pada Allah yang menciptakanmu kalau mungkin kamu bakal ditraining dulu sama Allah langsung, kalau hidup itu ada susahnya dan mungkin Allah pengen kita lebih banyak mengingatNya?
You know we are nothing in this world..
Komentar
Posting Komentar