Takdir
Aku yang serakah
Manusia memang
ditakdirkan menjadi makhluk yang tidak pernah puas. Sehingga cobaan menahan
hawa nafsu dan selalu bersyukur atas nikmat Allah SWT memang benar adanya agar
manusia bisa selalu instropeksi diri dan menjadikannya ciri pembeda antar satu
manusia dengan manusia lainnya.
Tahun lalu saya
mendapat kesempatan menjadi bagian dalam sebuah penelitian lapangan. Ketika
itu, cukup banyak dari rekan se-universitas saya yang mengikutinya. Jadi
terkesan biasa saja—bagi saya pada waktu
itu—bukan hal yang waow tepatnya.
Tapi siapa tahu? dari anggapan kecil seperti itu menjadi muncul sifat serakah.
Sehingga muncul harapan bisa mendapat site penelitian yang jauh—dalam artian di
luar pulau Jawa dan cukup jauh—pikiran saya pada waktu itu, agar bisa punya “cerita”
yang bisa diceritakan ke oranglain.
Sebelum pengumuman
penempatan site penelitian dirilis, saya sudah terlebih dahulu mendapat
informasi dari rekan yang bekerja di institusi yang menaungi penelitian
lapangan ini. Saya kaget, harapan saya pupus ketika membaca nama lengkap saya
berada di kolom NTB-Lombok Barat.
Sungguh jika
diingat— saya sungguh malu dengan diri saya yang dahulu— mengenai betapa tidak
bersyukurnya saya.
Ketika itu saya
tidak langsung mengucapkan lafal Alhamdulillah—tapi saya justru menggerutu
dahulu—kenapa saya harus di Lombok Barat?
Bahkan saya sudah pernah kesana! Saya ingin mendapat tempat yang belum saya
kunjungi!
Namun, pada
akhirnya saya berusaha menerimanya dan mencari hal-hal positif sekiranya merujuk
saya bisa ditempatkan di Lombok Barat.
Kemudian saya
menjadi teringat—beberapa bulan sebelum pengumuman site penelitian, seorang
sahabat saya asal NTB nostalgia masa SMP dan berkunjung ke Yogyakarta, alhasil
saya menjadi tour guide untuknya.
Memang pada saat itu pasti —ada keinginan
untuk bisa mengunjungi tempat tinggal— sahabatku itu. Empat tahun
sebelumnya saya sudah ke NTB namun tidak memiliki kesempatan untuk mengunjungi
rumah sahabatku ini, sehingga mungkin —Allah
mengatur sedemikian rupa— sehingga angan-angan yang tidak diseriusi ini
menjadi kenyataan. Tanpa disangka sedikitpun. Ya, kesempatan pada saat itu. Selain itu, do’a dari sahabatku
ini ternyata makbul, beliau mendo’akan saya agar bisa mendapat site penelitian
di NTB—dan do’a beliau bertolak belakang dengan do’aku—
Motivasi bekerja
setelah lulus dari universitas hanyalah dapet pengalaman kerja, udah itu aja
pikirannya. Saya banyak belajar menganalisis kapasitas diri saya agar bisa
mendukung pekerjaan. Akibat merasa belum percaya diri saya bisa melakukannya, muncullah
hasrat diri untuk meningkatkan kapasitas diri dengan mengikuti sebuah workshop
biologi molekuler dari bagian tubuh kelelawar, dan lengkap dengan metode
penangkapan kelelawar dan prosessingnya yang baik dan benar. Selepas mengikuti
workshop tersebut, saya menjadi lebih siap menghadapi tugas penelitian di NTB
esok.
Sampailah hari keberangkatan
menuju ke NTB, sungguh senang tak terbendung saat bisa bertemu dengan sahabatku
ini. Saya sampai tidak bisa berkata-kata ketika melihat wajah sumringah dari sahabatku ini. Allah
sepertinya membiarkanku untuk merasakan manisnya menjaga silaturahim bersama
teman-teman. Alih-alih ingat dengan keserakahanku, saya justru bersyukur ribuaaaan kali atas ketentuan Allah ini.
Sebulan sudah
bekerja, akhirnya saya mendapat allowance
back atas pekerjaan saya dan ternyata lokasi penempatan mempengaruhi nilai
pokok gaji harian. Saya berasumsi teman-teman saya yang di ujung-ujung
Indonesia pasti mendapat nilai pokok gaji harian yang lebih besar dibandingkan
saya. Namun, tak dianya, saya justru mendapat nilai pokok gaji harian paling
tinggi dibandingkan 15 lokasi penelitian lainnya. Sungguh ini benar-benar di
luar dugaan saya. Tidak terlintas olehku akan mendapat nilai pokok gaji harian
sebesar ini dalam kurun waktu sesempit ini. Sungguh, ini rezeki dari Allah yang
sangat sangat saya syukuri.
Tak hanya itu,
dengan didapatkannya site penelitian di Lombok Barat oleh saya, saya berkenalan
dengan kakak tingkat yang bekerja di instansi yang menaungi proyek penelitian
tersebut dan beliau bekerja pada skala laboratoriumnya juga.
Tujuh bulan
kemudian saya diberi offering oleh
kakak tingkat saya untuk bisa bekerja di laboratorium selama 2 bulan tanpa tes.
Hal ini ditawarkan untuk menggantikan posisi teman-teman laboratorium lain yang
mendapat kesempatan bekerja di lapangan lagi. Padahal kalau dipikir-pikir saya enggak qualified banget.
Dengan banyak saran
dari beberapa kakak tingkat yang pernah bekerja disana, saya harus menunjukkan
attitude dan mode bekerja yang baik dan benar. Sehingga saya mendapat
kesempatan dan dipanggil kembali untuk bekerja di instansi tersebut hingga
akhir tahun lalu. Sungguh siapa sangka saya bisa menjadi bagian dari tim
laboratorium TANPA TES, yang notabene menurut saya sulit dilakukan untuk saya
yang tidak memiliki latar belakang mengenai biologi molekuler. Sungguh jalan
yang Allah putuskan itu diluar nalar indahnya.
Yang kupikir indah,
namun tidak baik untukku, Allah jauhkan. Sehingga Allah takdirkan hal yang
lain, yang sempat tidak kusenangi, tapi itu yang terbaik untukku dan membuatku
melihat keindahan di setiap hikmah ketika aku menjalaninya.
Jadi, harus banyak
bermimpi, berusaha, berdo’a dan tawakal.
Komentar
Posting Komentar